"sedikit ilmu dari duniakuw"
Sebuah Problem : Keluhan Filmmaker Independent
” Dari ‘97 sampe sekarang, kaya’nya ada satu karakter yang bisa tepat sekali
menggambarkan banyak filmmaker yang mengaku filmmaker “independen” di Indonesia : hobinya mengeluh. “
Menyorot masalah keluh mengeluh, saya hanya ingin menegaskan bahwa 100% filmmaker kita adalah pengeluh, tanpa terkecuali. Termasuk yang menang dalam festival besar sekalipun. Kalau tidak ada, kok rasanya tidak mungkin.
Seandainya tidak ada keluhan, sepertinya masalah seorang filmmaker yang butuh biaya transfer ke pita 35 mm (sebagai syarat ikut salah satu festival manca), tidak akan menemukan jalan keluar. Tentu sangat disayangkan jika si filmmaker tidak bisa ikut festival hanya karena gengsi untuk mengeluhkan kesulitannya.
Maka, “keluhan bukan sesuatu yang haram bagi sebuah perkembangan kreatif.” Tergantung bagaimana kita menyikapi keluhan itu sendiri. Keluhan yang keluar tentunya bukan butuh gerutuan semata tapi juga butuh satu pemecahan ataupun istilah saya “pencerahan”.
Kurang lebih tahun 1985-an, Putu Wijaya pernah mengatakan dalam sebuah pertemuan teater “ tujuan berteater adalah untuk mengeluh “. Statemen ini bagi saya bukan apologi semata dan berlaku bagi tiap karya apapun. Tujuan berkarya adalah untuk mengeluh. Dalam wujud karya, kita berusaha mentransformasikan keluhan kita terhadap sejumlah masalah yang ada, baik masalah global maupun masalah individu.
Keluhan juga merupakan satu cerminan kondisi dan problema saat ini. Bisa jadi isi keluhan di masa sekarang akan berbeda dengan isi keluhan di masa mendatang. Misalkan, jika masa sekarang mengeluh tentang susahnya sponsor di film indie, mungkin masa mendatang mengeluh tentang susahnya membelanjakan duit dari sponsor. Inilah dinamisasi keluhan.
Di tahun 80-an, filmmaker kita mengeluhkan keterbatasan equipment. Semuanya belum seperti sekarang ini. Kini setiap orang bisa bikin film dengan gaya jungkir balik seperti apapun. Bandingkan dengan para filmmaker lawas yang memasang balok kayu melintang di atas area blooking, hanya untuk mengambil top shot tegak lurus. Sang kameraman naik diatasnya agar bisa mengambil angle itu. (contoh film : Pengkhiatan G 30 s PKI - sutradara : Arifin C. Noer, Brahmana Manggala - sutradara : Jimmy Atmaja).
Film yang sudah jadipun butuh pengeluh.Pada saat film masih dalam proses produksi, filmmakerlah yang melontarkan keluhan, namun pada saat film sudah jadi, keluhan dilontarkan oleh kritikus film. Kritikus mengeluhkan sejumlah kekurangan yang ada dalam film tersebut.
Dalam tahapan ini, keluhan telah melakukan titik pencapaian tertingginya, yakni wacana public.Sebagai intermezzo, ada kasus menarik yang patut saya ceritakan. Suatu kali, Adi Wicaksono, kritikus seni rupa dari Yogya, disatroni preman-preman bergolok karena rajin mengkritisi sekaligus mengeluhkan masalah-masalah keseni rupaan di koran-koran nasional. Akibatnya, Adi Wicaksono terpaksa lari ke Jakarta dan merubah nama. Ini mungkin ironi tentang keluhan. Wacana dalam keluhan bukannya dianggap pembelajaran tapi justru dianggap masalah.
Maka, dengan semangat kebersamaan di berbagai kesulitan filmmaker independent: jangan gengsi untuk mengeluh